Oleh: Ari Sampit/wongtani | 16 Agustus 2009

Tiga Wajah Keluarga Nona

nona1NAMANYA ATEMOYA AFRICANPRIDE. IA KERABAT SRIKAYA YANG POPULER DI AUSTRALIA. ITU KARENA TINGKAT KEMANISAN MENCAPAI 16O BRIKS, SETARA DENGAN SRIKAYA TERMANIS NEGERI KANGURU. KINI MENCICIP MANISNYA ATEMOYA TAK PERLU LAGI JAUH-JAUH MELINTASI SAMUDERA HINDIA. KERABAT SIRSAK ITU JUGA BERBUAH DI TANAHAIR.

Popularitas african pride itu membuat dr Hendrarko, kolektor buah di Malang, Jawa Timur, tertarik menanam di tanahair. Saat berkunjung ke Australia 4 tahun silam, ia memboyong 2 bibit dari seorang pekebun di Perth, Australia Barat, salah satu sentra atemoya di Australia. Setiap bibit berukuran 40 cm. Dokter ahli jiwa itu membawa bibit ke Indonesia dalam kotak kardus dengan media gel.

Di tanahair atemoya ditanam di kebun di Sidorahayu, Wagir, Malang. Tunas-tunas baru bermunculan sebulan berselang. Itu tanda tanaman mampu beradaptasi dengan iklim tropis di lahan berketinggian 200 m dpl itu. Padahal, Perth termasuk kawasan subtropis. Yang mengejutkan, pada umur 1,5 tahun anggota famili Annonaceae itu mulai belajar berbuah. ‘Mungkin karena bibit asal okulasi. Bila dari biji pasti lebih lambat meski mampu beradaptasi di daerah tropis,’ kata Hendrarko.

Unik

African pride tak seperti pink mammoth. Yang disebut terakhir atemoya yang masuk ke Indonesia pada 1998. Pink mammoth yang populer di berbagai negara itu enggan berbuah di tanahair. ‘Kalau pun berbuah mesti dengan penyerbukan buatan,’ kata Hendrarko. African pride lebih unggul karena tetap berbuah meski penyerbukan tidak dibantu manusia.

Menurut Sobir PhD, kepala Pusat Kajian Buah Tropis Institut Pertanian Bogor (IPB), umumnya keluarga Annonaceae membutuhkan penyerbukan buatan agar produksi maksimal. Itu karena benangsari dan putik matang di waktu yang berbeda. ‘Putik matang lebih dulu ketimbang benangsari,’ katanya. Pekebun di mancanegara membantu penyerbukan atemoya dengan mengoleskan benangsari dari bunga lain pada putik.

African pride siap panen saat berumur 5 bulan setelah berbunga. Proses pematangan buah itu lebih lamban ketimbang srikaya yang dipetik 3 bulan pascabunga. Pada panen perdana dr Hendrarko memetik 4 buah atemoya. Buah matang berukuran sekepalan tangan orang dewasa. Bobotnya 400 – 500 g per buah setara 1,8 kg/pohon. Jumlah itu lebih sedikit ketimbang di negeri asalnya di Australia yang rata-rata 5 kg per pohon saat berbuah pertama kali. Musababnya, pekebun di negeri Kanguru melakukan penyerbukan buatan untuk membuahkan african pride.

Sosok buah african pride unik. Bentuknya bulat dengan tekstur kulit berupa benjolan tak beraturan. Itu berbeda dengan srikaya yang benjolannya tersusun teratur menyerupai sisik. Rasanya setara dengan srikaya new varietas yang berkadar kemanisan 16o briks. Jauh lebih manis ketimbang srikaya lokal yang hanya 14 – 15o briks. Daging african pride lembut dan agak berpasir di dekat kulit. Jumlah biji sedikit, hanya 16 buah.

Florida

Dengan kualitas itu, Hendrarko yakin kelak african pride menjadi idola pekebun di tanahair. Ia mencoba memperbanyak dengan teknik sambung. Tunas custard apple – sebutan atemoya – disambung dengan srikaya lokal. Menurut Eddy Soesanto, penangkar buah di Kelapadua, Depok, srikaya lokal memang kerap dijadikan batang bawah untuk memperbanyak srikaya introduksi atau kerabatnya. ‘Srikaya lokal sudah beradaptasi dengan kondisi iklim di Indonesia sehingga mudah tumbuh,’ ujarnya.

Sebetulnya Hendrarko juga mendatang-kan atemoya lain dari Australia berbarengan dengan african pride. Sayang, nama varietas belum diketahui. Produktivitas buah pun tak selebat african pride. ‘Varietas tanpa nama itu baru berbuah setelah 4 tahun,’ ujar Cahyaning Tri Gunastri SP, pengelola kebun Hendrarko. Daunnya lebih kecil daripada african pride, mirip srikaya lokal. Bentuk buahnya lebih lonjong dan tekstur kulit hampir mulus. Toh ukuran buah dan rasa mirip african pride.

Hendrarko menduga atemoya tanpa nama itu kurang adaptif di Malang yang berketinggian 200 – 400 m dpl. Ia lantas mencoba menanam di kawasan Bedugul, Bali, yang berketinggian di atas 800 m dpl. Sayang, produktivitas belum diketahui lantaran belum berbuah.

Nun di Boja, Kendal, Jawa Tengah, Prakoso Heryono juga membudidayakan atemoya florida yang diperoleh dari Hawaii, Amerika Serikat. Karena sama-sama berasal dari kawasan tropis, imigran negeri Paman Sam itu mudah beradaptasi. Ia berbuah pada umur 1,5 tahun. Rasa juga tak kalah dengan new varietas. Begitu buah dibelah, aroma harum menguar. Bentuk buah eksotis. Mendekati pangkal buah tekstur kulit berupa benjolan menyerupai duri-duri tumpul. Sedangkan bagian bawah hampir tidak ada benjolan.

Silangan

Yang menarik, meski sama-sama atemoya, ketiganya memiliki bentuk buah berbeda. Menurut Drs Hendro Soenarjono, ahli buah di Bogor, perbedaan itu diduga karena atemoya merupakan silangan antara cherimoya Annona cherimola dan srikaya Annona squamosa. Kulit cherimoya teksturnya berupa cekungan dengan pola seperti susunan sisik. Sedangkan srikaya sebaliknya.

Bentuk buah african pride tak mirip cherimoya dan srikaya. Sedangkan atemoya australia tanpa nama yang ditanam Hendrarko lebih mirip cherimoya. Atemoya florida mencirikan kedua induknya. Bagian yang mendekati pangkal buah mirip srikaya dan bagian bawah mirip cherimoya.

Menurut Dr TK Lim, manajer program penelitian Australian Centre for International Agricultural Research yang Trubus temui pada konferensi buah internasional di Bogor, atemoya merupakan komoditas ekspor Australia. Di negeri bekas jajahan Inggris itu atemoya dibudidayakan sejak 70 tahun silam. Penjualan atemoya mencapai AUS $11-miliar per tahun. Kehadiran kerabat srikaya itu di tanahair membuka peluang Indonesia mengikuti jejak Australia. (Imam Wiguna)


Tanggapan

  1. Dimana saya dapat menghubungi dr. hendrarko

    Suka


Tinggalkan komentar

Kategori