Oleh: Ari Sampit/wongtani | 28 November 2009

Pro-Kontra ‘Food Estate’

Rencana pemerintah memberikan lampu hijau kepada swasta baik dalam negeri dan asing menanamkan modalnya pada usaha budidaya tanaman pangan patut dicermati. Bahkan berbagai kalangan pun masih pro kontra terhadap invetasi besar-besaran di sektor yang selama ini menjadi penyedia hajat hidup orang banyak.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Hendri Saragih menyesalkan langkah yang diambil pemerintah untuk mendongkrak produksi padi nasional melalui program food estate. Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani.

Menurutnya, dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based and family-based agriculture menjadi corporate-based food dan agriculture production. Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.

Apalagi, nilai Hendri, pertumbuhan produksi padi yang dalam dua tahun terakhirr cukup besar itu masih patut dipertanyakan. Dari hasil kajian SPI, malah terlihat tidak nampak adanya pertumbuhan produksi yang signifikan. Rata-rata produksi padi di daerah hanya 4,06 ton gabah kering panen (GKP) per hektare.

Sementara di sejumlah daerah seperti Bogor, Cirebon, Pati dan Kudus jumlahnya lebih rendah dari 4 ton/ha. Rendahnya produksi padi di beberapa daerah itu karena berbagai faktor, mulai dari sempitnya lahan kepemilikan hingga bencana banjir dan kekeringan.

Hal lain yang membuat pertumbuhan produksi padi dipertanyakan adalah karena laju konversi lahan pertanian yang sangat pesat hingga mencapai 100.000 ha/tahun. Padahal, di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya sekitar 35.000 ha/tahun. “Anehnya, laporan luas panen tidak menurun, tapi justru terus meningkat,” kata Hendri mempertanyakan.

“Memang pemerintah melakukan beberapa upaya meningkatkan produksi pangan nasional, khususnya padi. Tapi, sayangnya, pemerintah justru mendorong program food estate. Padahal, permasalahan utama pertanian kita adalah rendahnya kepemilikan lahan pertanian,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir menilai, secara konsep pengembangan food estate cukup bagus. Sebab, dalam draf Peraturan Pemerintah tersebut, investor yang akan membangun food estate harus melibatkan petani.

Dengan demikian, bagi petani akan lebih mudah karena dalam pengelolaan food estate, petani akan mendapatkan kepastian pasokan sarana produksi seperti pupuk dan benih. Begitu juga persoalan permodalan petani tidak akan menghadapi kendala. “Bahkan, pemasaran terhadap hasil dari food estate juga sudah bisa diantisipasi,” katanya kepada Agro Indonesia.

Winarno juga mengingatkan, agar dalam Peraturan Pemerintah tentang food estate, pemerintah mewajibkan investor swasta melibatkan petani dalam pembangunan food estate. Sebab, jika investor — baik swasta dalam negeri maupun asing — dibiarkan berjalan sendiri, program itu akan menjadi proyek mercusuar.

“Bagi petani, apakah investor yang mengembangan food estate swasta dalam negeri atau asing, tidak jadi masalah. Yang terpenting mereka melibatkan petani dalam pengelolaan lahan. Kalau tidak, petani nantinya hanya akan menjadi penonton di tanahnya sendiri,” tuturnya.

Soal pemasaran hasil dari food estate, Winarno juga berharap masalah itu diatur dalam Peraturan Pemerintah yang tengah disusun. Prinsipnya, produksi pangan dari food estate itu diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, maka bisa untuk pasar ekspor.

Hal lain yang mesti pemerintah buat aturannya adalah batas waktu investor mengelola lahan food estate. Jadi, lahan usaha itu bukan hak kepemilikan, tapi sebagai hak guna usaha (HGU). Sesuai dengan peraturannya, maka HGU tersebut hanya berlaku sekitar 35 tahun. Setelah itu pemerintah bisa menghentikan atau memperpanjang ijin usaha.

Restu dari DPR

Keinginan pemerintah mengembangkan food estate ternyata mendapat restu dari Komisi IV DPR yang membidangi Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Anggota Komisi IV, Siswono Yudohusodo mendukung program pemerintah tersebut. Alasannya, dengan makin meningkatnya persaingan, maka setiap kegiatan usaha pertanian juga harus efisien.

Food estate menjadi salah satu kegiatan usaha pertanian yang efisien, sehingga produk kita akan mudah bersaing, termasuk di pasar internasional,” ujarnya kepada Agro Indonesia.

Siswono, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengatakan, dengan food estate, semua kegiatan usaha tani bisa dilakukan dengan menggunakan mekanisasi pertanian, dari mulai tanam hingga panen. Dengan demikian, bukan hanya menghemat waktu, tapi juga tenaga kerja. Apalagi, kegiatan food estate berada di luar Jawa yang tenaga kerjanya sangat sedikit.

Karena kegiatan pertaniannya lebih efisien, harga produk yang dihasilkan akan jauh lebih murah dibandingkan yang dihasilkan di luar kegiatan food estate. Khususnya pertanian di Pulau Jawa yang banyak diusahakan petani kecil. Untuk menghindari distorsi pasar produk pangan di Jawa, Siswono mengusulkan, agar hasil produksinya dibeli oleh Perum Bulog atau diekspor.

Guna menghindari ketimpangan petani dengan perusahaan yang menanamkan modalnya di food estate, Siswono yang dengan bendera Bangun Tjiptasarana sudah menggarap lahan di Merauke itu berharap, model usahanya seperti yang berjalan di subsektor perkebunan, yakni sistem inti-plasma. Artinya, dengan cara itu ada kerjasama antara investor dengan petani.

Dukungan terhadap pengembangan food estate juga datang dari anggota DPR lainnya, M. Prakosa. Mantan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan ini mendukung rencana pemerintah membangun food estate. Namun demikian, Prakosa memberikan catatan bagi pemerintah.

“Bagi kalangan investor besar, pengembangan food estate bisa memberikan jawaban. Tapi bagi peningkatan kesejahteraan petani yang berlahan sempit, food estate belum mampu menjawab persoalan,”  katanya kepada Agro Indonesia.

Karena itu, Prakosa mendesak pemerintah lebih memprioritaskan persoalan kesejahteraan petani ketimbang mengundang investor besar membangun food estate. Sebab, problem petani berlahan sempit dan kesejahteraan petani hingga kini belum mampu diselesaikan pemerintah. Setidaknya, kini ada 9,55 juta kepala keluarga (KK) petani yang kepemilikan lahannya di bawah 0,5 ha. “Tidak mungkin petani yang mempunyai lahan sempit bisa sejahtera,” tegasnya.

Karena itu Polikus dari PDI Perjuangan ini mengusulkan, agar pemerintah menerapkan konsep corporate farming. Dengan konsep ini, petani yang berlahan sempit nantinya disatukan dalam satu manajemen usaha. “Nantinya petani lah yang menjadi pekerja di lahan mereka, tapi hasilnya dikelola oleh satu manajemen, sehingga menjadi lebih efisien,” tutur dia. Julian

 

Persoalan mendasar Sektor Pertanian

No Persoalan
1 Meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global
2 Ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana, lahan dan air
3 Status dan luas kepemilikan lahan. Ada 9,55 juga KK petani lahanya di bawah 0,5 ha
4 Lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional
5 Keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga bank untuk usaha tani
6 Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh
7 Masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi
8 Belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik
9 Rendahnya nilai tukar petani (NTP)
10 Belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian
11 Kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian

Sumber: Renstra Deptan

Merauke, Target Utama Pengembangan ‘Food Estate’

Salah satu yang menjadi target utama pemerintah mengembangkan food estate adalah Kabupaten Merauke, Papua. Sejak beberapa tahun terakhir, kabupaten yang kini dinahkodai Bupati Johane Gluba Gebze sudah mencanangkan program MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).

Melihat potensi yang ada, kabupaten yang berada di ujung Indonesia Timur ini sangat besar. Merauke memiliki cadangan lahan pertanian mencapai 2,49 juta hektar (ha), terdiri dari luas lahan basah sekitar 1,937 juta ha dan lahan kering 554,5 ribu ha. Bahkan lahan yang ada hampir semua datar sehingga cocok untuk usaha agribisnis skala komersial.

Saat ini beberapa distrik di Merauke merupakan kawasan sentra produksi. Untuk tanaman padi berada di Merauke, Semangga, Kurik, Tanah Miring, Okaba dan Kimaam. Komoditi kedele berada di Jagebob, Malind, Muting, Elikobel, Okaba dan Kimaam. Sedangkan jagung di distrik Semangga, Jagebob, Muting, Elokobel, Okaba, dan Kimaam.

Pada tahap awal potensi lahan yang bisa dikembangkan untuk MIFE sekitar 1,63 juta ha. Luas lahan tersebut berada pada lahan hutan produksi konvesri (HPK) sekitar 1,43 juta ha dan lahan alokasi penggunaan lainnya (APL) sekitar 202.869 ha.

Saat ini setidaknya ada enam swasta nasional yang sudah siap menanamkan modalnya mengembangkan agribisnis di MIFE. Investor tersebut adalah Bangun Tjipta, Medco Grup, Comexindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama dan Wolo Agro Makmur. Bahkan investaor asal Arab Saudi, dari kelompok usaha Binladen sempat menengok tanah Merauke.

Dalam konsep MIFE ini, nantinya dilakukan penataan manajemen lahan dalam satu usaha pertanian yang terintegrasi. Minimal satu hamparan lahan seluas 1.000 ha yang terdiri 70% usaha tanaman pangan, 9% usaha ternak, 8% perikanan darat, 8% usaha perkebunan dan 5% untuk penggunaan lainnya.

Untuk menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan dan energi, Pemda Merauke kini melakukan beberapa langkah strategi. Diantaranya, membangun pusat benih dan bibit bersertifikat, membangun infrastruktur irigasi, jalan, pelabuhan dan bandara. Selain itu berkoordinasi dengan kabupaten tetangga seperti Boven Digul, Asmat dan Mappi untuk bersama-sama menjadi lumbung pangan dan energi.

Dirjen Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso mengakui, konsep food estate nantinya akan difokuskan pada wilayah Merauke yang masih luas lahannya. Namun tidak menutup kemungkinan wilayah lainnya akan dikembangkan juga. Beberapa wilayah di tanah air yang potensial adalah Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Pulau Seram Barat, dan Pulau Buru. Julian

Sumber : Agroindonesia.co.id


Tanggapan

  1. aq ingin kenal dan ingin tahu masalah pertanian, dan perkembangannya, salam dari Nganjuk jatim

    Suka

  2. Makasih sudah mampir mas drianto. trims semangatnya

    Suka

  3. bagus…kreatif…selamat ya…

    Suka

  4. saya nyari cara penjernihan air gambut kok belum dapat yang pas, sampean punya?

    Suka

    • Salam balik pak, senang bisa kena Pean walau didunia bloger/maya…soal penjernih air gambut untuk konsumsi kan pak? kita biasa pake Nasa RO (Reverse Osmosis) coba bapak klik di sini semoga bisa membantu pak…

      Suka

  5. saya baru sekali ke sini ya pak? salam kenal dari ampah, bartim

    Suka


Tinggalkan komentar

Kategori